Tokoh – Tokoh Sosiolog Dunia
Sumber : https://eunchasiluets.wordpress.com/2012/05/08/45/?blogsub=confirming#blog_subscription-2
Prancis (1798-1857)
 Auguste Comte (1798-1857) sangat 
prihatin terhadap anarkisme yang merasuki masyarakat saat berlangsungnya
 Revolusi Perancis. Oleh karena itu Comte kemudian mengembangkan 
pandangan ilmiahnya yakni positivisme atau filsafat sosial
 untuk menandingi pemikiran yang dianggap filsafat negatif dan 
destruktif. Positivisme mengklaim telah membangun teori-teori ilmiah 
tentang masyarakat melalui pengamatan dan percobaan untuk kemudian 
mendemonstrasikan hukum-hukum perkembangan sosial. Aliran positivis 
percaya akan kesatuan metode ilmiah akan mampu mengukur secara objektif 
mengenai struktur sosial.
Sebagai usahanya, Comte mengembangkan fisika sosial atau juga disebutnya sebagai sosiologi.
 Comte berupaya agar sosiologi meniru model ilmu alam agar motivasi 
manusia benar-benar dapat dipelajari sebagaimana layaknya fisika atau 
kimia. Ilmu baru ini akhirnya menjadi ilmu dominan yang mempelajari statika sosial (struktur sosial) dan dinamika sosial (perubahan sosial).
Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah 
untuk memahami masyarakat akan membawa pada kemajuan kehidupan sosial 
yang lebih baik. Ini didasari pada gagasannya tentang Teori Tiga Tahap Perkembangan Masyarakat, yaitu bahwa masyarakat berkembang secara evolusioner dari tahap teologis (percaya terhadap kekuatan dewa), melalui tahap metafisik (percaya pada kekuatan abstrak), hingga tahap positivistik
 (percaya terhadap ilmu sains). Pandangan evolusioner ini mengasumsikan 
bahwa masyarakat, seperti halnya organisme, berkembang dari sederhana 
menjadi rumit. Dengan demikian, melalui sosiologi diharapkan mampu 
mempercepat positivisme yang membawa ketertiban pada kehidupan sosial.
Prancis (1859-1917)
Untuk menjelaskan tentang masyarakat, Durkheim (1859-1917) berbicara mengenai kesadaran kolektif sebagai kekuatan moral yang mengikat individu pada suatu masyarakat. Melalui karyanya The Division of Labor in Society
 (1893). Durkheim mengambil pendekatan kolektivis (solidaritas) terhadap
 pemahaman yang membuat masyarakat bisa dikatakan primitif atau modern. Solidaritas
 itu berbentuk nilai-nilai, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dianut 
bersama dalam ikatan kolektif. Masyarakat primitif/sederhana 
dipersatukan oleh ikatan moral yang kuat, memiliki hubungan yang 
jalin-menjalin sehingga dikatakan memiliki Solidaritas Mekanik. Sedangkan
 pada masyarakat yang kompleks/modern, kekuatan kesadaran kolektif itu 
telah menurun karena terikat oleh pembagian kerja yang ruwet dan saling 
menggantung atau disebut memiliki Solidaritas Organik .
Selanjutnya dalam karyanya yang lain The Role of Sociological Method (1895), Durkheim membuktikan cara kerja yang disebut Fakta Sosial,
 yaitu fakta-fakta dari luar individu yang mengontrol individu untuk 
berpikir dan bertindak dan memiliki daya paksa. Ini berarti 
struktur-struktur tertentu dalam masyarakat sangatlah kuat, sehingga 
dapat mengontrol tindakan individu dan dapat dipelajari secara objektif,
 seperti halnya ilmu alam. Fakta sosial terbagi menjadi dua bagian, material (birokrasi dan hukum) dan nonmaterial (kultur dan lembaga sosial).
Dua tahun kemudian melalui Suicide
 (1897), Durkheim berusaha membuktikan bahwa ada pengaruh antara 
sebab-sebab sosial (fakta sosial) dengan pola-pola bunuh diri. Dalam 
karya itu disimpulkan ada 4 macam tipe bunuh diri, yakni bunuh diri egoistik (masalah pribadi), altruistik (untuk kelompok), anomik (ketiadaan kelompok/norma), dan fatalistik (akibat tekanan kelompok). Berdasarkan hal itu Durkheim berpendapat bahwa faktor derajat keterikatan manusia pada kelompoknya (integrasi sosial) sebagai faktor kunci untuk melakukan bunuh diri.
Jerman (1818-1883)
Karl Marx (1818-1883) melalui pendekatan materialisme historis percaya bahwa penggerak sejarah manusia adalah konflik kelas.
 Marx memandang bahwa kekayaan dan kekuasaan itu tidak terdistribusi 
secara merata dalam masyarakat. Oleh karena itu kaum penguasa yang 
memiliki alat produksi (kaum borjuis/kapitalis) senantiasa terlibat konflik dengan kaum buruh yang dieksploitasi (kaum proletar).
Sosiologi Marxis tentang kapitalisme
 menyatakan bahwa produksi komoditas mau tak mau membawa sistem sosial 
yang secara keseluruhan merefleksikan pengejaran keuntungan ini. 
Nilai-nilai produksi merasuk ke semua bidang kehidupan. Segala 
sesuatunya, penginapan, penyedia informasi, rumah sakit, bahkan sekolah 
kini menjadi bisnis yang menguntungkan. Tingkat keuntungannya menentukan
 berapa banyak staf dan tingkat layanan yang diberikan. Inilah yang 
dimaksud Marx bahwa infrastruktur ekonomi menentukan suprastruktur 
(kebudayaan, politik, hukum, dan ideologi).
Pendekatan Sosiologi Marxis menyimpulkan mengenai ide pembaruan sosial
 yang telah terbukti sebagai ide yang hebat pada abad XX, sebagai 
berikut (Osborne, 1996: 50): semua masyarakat dibangun atas dasar 
konflik, penggerak dasar semua perubahan sosial adalah ekonomi, 
masyarakat harus dilihat sebagai totalitas yang di dalamnya ekonomi 
adalah faktor dominan, perubahan dan perkembangan sejarah tidaklah acak,
 tetapi dapat dilihat dari hubungan manusia dengan organisasi ekonomi, 
individu dibentuk oleh masyarakat, tetapi dapat mengubah masyarakat 
melalui tindakan rasional yang didasarkan atas premis-premis ilmiah 
(materialisme historis), bekerja dalam masyarakat kapitalis 
mengakibatkan keterasingan (alienasi), dan dengan berdiri di luar 
masyarakat, melalui kritik, manusia dapat memahami dan mengubah posisi 
sejarah mereka.
Inggris (1820-1903)
Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi
 untuk menjelaskan perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa 
masyarakat berevolusi dari bentuk yang lebih rendah (barbar) ke bentuk 
yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa institusi sosial 
sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan
 sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu 
dan cerdas dapat bertahan. Dengan kata lain “Yang layak akan bertahan 
hidup, sedangkan yang tak layak akhirnya punah”. Konsep ini diistilahkan
 survival of the fittest. Ungkapan ini sering 
dikaitkan dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles 
Darwin. Oleh karena itu teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering
 dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.
Melalui teori evolusi dan pandangan 
liberalnya itu, Spencer sangat poluler di kalangan para penguasa yang 
menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissez-faire
 dengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan 
individual kecuali fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan 
sosial berkembang bebas tanpa kontrol eksternal. Spencer menganggap 
bahwa masyarakat itu alamiah, dan ketidakadilan serta kemiskinan itu 
juga alamiah, karena itu kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski 
pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme Sosial sampai sekarang 
masih terus hidup dalam tulisan-tulisan populer.
Jerman (1864-1920)
Max Weber (1864-1920) tidak sependapat 
dengan Marx yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan kekuatan pokok 
perubahan sosial. Melalui karyanya, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme,
 Weber menyatakan bahwa kebangkitan pandangan religius tertentu– dalam 
hal ini Protestanisme– yang membawa masyarakat pada perkembangan 
kapitalisme. Kaum Protestan dengan tradisi Kalvinis 
menyimpulkan bahwa kesuksesan finansial merupakan tanda utama bahwa 
Tuhan berada di pihak mereka. Untuk mendapatkan tanda ini, mereka 
menjalani kehidupan yang hemat, menabung, dan menginvestasikan 
surplusnya agar mendapat modal lebih banyak lagi.
Pandangan lain yang disampaikan Weber 
adalah tentang bagaimana perilaku individu dapat mempengaruhi masyarakat
 secara luas. Inilah yang disebut sebagai memahami Tindakan Sosial.
 Menurut Weber, tindakan sosial dapat dipahami dengan memahami niat, 
ide, nilai, dan kepercayaan sebagai motivasi sosial. Pendekatan ini 
disebut verstehen (pemahaman).
Weber juga mengkaji tentang rasionalisasi.
 Menurut Weber, peradaban Barat adalah semangat Barat yang rasional 
dalam sikap hidup. Rasional menjelma menjadi operasional (berpikir 
sistemik langkah demi langkah). Rasionalisasi adalah proses yang 
menjadikan setiap bagian kecil masyarakat terorganisir, profesional, dan
 birokratif. Meski akhirnya Weber prihatin betapa intervensi negara 
terhadap kehidupan warga kian hari kian besar.
Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan,
 Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki 
monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi 
yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik.
Sumber : https://eunchasiluets.wordpress.com/2012/05/08/45/?blogsub=confirming#blog_subscription-2 





No comments:
Post a Comment